Kamis, 04 Agustus 2011

MENYONTEK@KARYA TULIS ILMIAH

BUDAYA MENYONTEK SEBAGAI PENGARUH PRESTASI SISWA KELAS X.1 SMA NEGERI 18 MAKASSAR



NURUL AMALIA

XI IPA 2




DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………… i
Daftar Isi………………………………………………………………….………… iii
Daftar Gambar …………………………………………………………………….. v
Daftar Lampiran…………………………………………………………………… vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah…………………………………………... 1
1.2. Rumusan Masalah…………………………………………….…… 3
1.3. Tujuan Penelitian…………………………………………………... 3
1.4. Manfaat Penelitian…………………………………………………. 4
1.5. Batasan Masalah……………..……………………………………. 4
1.6. Hipotesis…………………………….………………………………. 4
1.7. Metodologi Penelitian…………………………….………………... 4
1.8. Populasi Dan Sampel Penelitian………………….……………… 5
BAB II LANDASAN TEORI
1. Pengertian Menyontek……………………………..……………… 6
2. Faktor Siswa Menyontek………………………………………….. 9
3. Menyontek Sebagai Budaya…………………………………..… 13
4. Keinginan Siswa Untuk Belajar…………………………………. 20
5. Cara Siswa Menyontek…………………………………………... 22
6. Dampak-dampak Menyontek……………………………………. 25
7. Pengaruh Menyontek Bagi Prestasi Siswa…………………..... 31
8. Penanggulangan Menyontek Bagi Siswa……………………… 32

BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan………………………………………………………... 38
2. Saran………………………………………………………………. 39
Daftar Pustaka……………………………………………………………………. 41
Lampiran 1Koesioner……………………………………………………………. 42
Lampiran 2 Hasil Koesioner…………………………………………………….. 46















DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Grafik Pengakuan Siswa Tentang Menyontek……………….…….. 9
Gambar 2 Grafik Pelajaran Sulit Bagi Siswa……………………………….…. 12
Gambar 3 Grafik Persentase Lama Belajar Siswa…………………………… 15
Gambar 4 Grafik Persentase Saat Belajar Siswa…………………………… 17
Gambar 5 Grafik Tanggapan Siswa Tentang Menyontek………………… 18
Gambar 6 Grafik Persentase Kegiatan Siswa Di waktu Luang…………… 22
Gambar 7 Grafik Cara Siswa Menyontek……………………………………. 24
Gambar 8 Grafik Mata Pelajaran Yang Diremidialkan Siswa……………... 26
Gambar 9 Grafik Waktu Siswa Menyontek………………………………….. 30
Gambar 10 Grafik Pelajaran Kegemaran Siswa……………………………. 31
Gambar 11 Grafik Banyak Mata Pelajaran Yang Diremidialkan Siswa…. 32
Gambar 12 Grafik Siswa Saat Ketahuan Menyontek……………………… 33







DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Koesioner……………………………………………………………. 42
Lampiran 2 Hasil Koesioner…………………………………………………..… 45



















BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Menyontek menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya. Menyontek merupakan salah satu dari perilaku curang dan tidak jujur. Menyontek bukan salah satu hal yang aneh pada masa sekarang ini. Perilaku tidak terpuji ini bahkan sudah membudaya di Indonesia, walaupun tentu saja tidak ada yang mau mengakui hal tersebut.
Di Indonesia hampir semua kalangan melakuka hal ini dan didominasi oleh kalangan pelajar. Kalau kita perhatikan, menyontek sudah bukan hal yang tabu dan terlarang buat mereka. Cukup sering terdengar ditempat-tempat publik seperti angkutan umum, para pelajar yang baru selesai ujian membicarakannya dengan penuh semangat dan tanpa malu-malu mengenai aksi menyontek yang mereka barusan lakukan ditengah ujian misalnya bagaimana mengelabui guru pengawas dan trik menyontek yang mereka lakukan.
Ironisnya ketika hasil ujian dibagikan mereka malah terlihat bangga akan nilai bagus yang mereka dapat. Mereka secara psikologis mendapat kepuasan tertentu dan bisa mendapatkan kebebasan karena terlapas dari beban tertentu, tapi jika hal ini tidak segera diubah mereka kedepannya akan menjadi pecundang. Pada dasarnya sebuah sistem ujian dilakukan untuk mengukur sejauh mana kemampuan siswa pada suatu materi yang diajarkan untuk menghargai nilai dari kejujuran dan mental yang kuat ketika berada dalam suasana ujian.
Guru sebenarnya tahu mana siswa yang benar-benar pintar sehingga tahu mana nilai yang hasil kejujuran dari otak atau kecurangan. Tapi, apalah daya banyak guru yang mengambil nilai sepenuhnya dari ulangan, tidak peduli mau menyontek atau tidak. Dalam hal ini kasihan sekali yang jujur tapi mendapat nilai sama atau lebih kecil dari yang menyontek.
Kata-kata “mendingan hasil sendiri walau jelek daripada nilai bangus dari pada hasil menyontek”, sepertinya sudah kehilangan makna. Begitu banyak yang mengungkapkan kata-kata manis itu tapi tetap saja tidak menggoyahkan hati para penyontek.
Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari efektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek menyontek.
Ketika penulis berada di Sekolah Menengah Atas, masalah ini semakin banyak saja, dan suatu peristiwa yang penulis saksikan seorang juara kelas dibuat malu oleh gurunya karena dicurigai menyontek atau bekerja sama. Padahal menurut penulis waktu itu tidak mungkin seorang juara kelas menyontek, pasti jawabannya yang dicontek teman-teman yang lain sehingga jawaban mereka sama semua.
Dan masih di sekolah tersebut teman penulis yang nilainya pas-pasan pada semerter pertama, dan mendapat rangking 25 dari 30 siswa, tiba-tiba masuk sepuluh besar di kelas itu disebabkan ketika ulangan umum semester kedua ia duduk sebangku dengan juara kelas. Apa ini adil dan objektif?
Untuk itu penulis mengangkat masalah “Budaya Menyontek Sebagai Pengaruh Prestasi Siswa” karena penulis merasa prihatin dengan kondisi pendidikan dewasa ini yang kurang efektif dalam mengawasi siswa yang gemar menyontek sehingga tercipta suatu generasi bobrok masa depan.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam karya tulis ini, penulis akan membahas mengenai pengertian menyontek, menyontek sebagai budaya dalam pendidikan khususnya bagi siswa di SMA Negeri 18 Makassar kelas X.1.
a. Apakah menyontek dapat mempengaruhi prestasi siswa kelas X.1 SMA Negeri 18 Makassar?
b. Mengapa siswa kelas X.1 SMA Negeri 18 Makassar Menyontek?
c. Sejauh mana menyontek dapat mempengaruhi prestasi siswa kelas X.1 SMA Negeri 18 Makassa?
d. Apakah budaya menyontek dapat hilang dari dalam diri siswa SMA Negeri 18 Makassar?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis mengangkat masalah ini yaitu :
a. Mengetahui prestasi siswa SMA Negeri 18 Makassar secara keseluruhan.
b. Mengetahui dan membandingkan keinginan belajar setiap siswa SMA Negeri 18 Makassar.
c. Mengetahui dampak-dampak dari menyontek.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :
a. Secara teoritis manfaat dari karya ilmiah ini yaitu memberikan penjelasan pada pembaca tentang hakikat menyontek.
b. Diharapkan kepada siswa agar lebih percaya diri sahingga tidak lagi menyontek setelah mengetahui dampak-dampak menyontek.
1.5. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu hanya untuk mengetahui sejauh mana penyontek dapat mempengaruhi prestasi siswa SMA Negeri 18 Makassar kelas X.1.
1.6. Hipotesis
Hipotesis penulis yaitu menyontek sangat berpengaruh bagi prestasi siwa kelas X.1 SMA Negeri 18 Makassar. Hipotesis ini diangkat karena beberapa hal yang penulis lihat dan ketahui.
1.7. Metodologi Penelitian
1.7.1. Metode Penelitian
 Metode Kancah
 Metode Pustaka
1.7.2. Teknik Pengumpulan Data
 Observasi
 Wawancara
1.7.3. Metode Analisis Data
 Kualitatif
 Kuantitatif
1.8. Populasi dan Sampel Penelitian
Karya tulis ini mengambil populasi dari kelas X.1 SMA Negeri 18 Makassar dengan jumlah siswa sebannyak 40 orang, dengan sampel peringkat 1 sampai 10 besar kelas.















BAB II
LANDASAN TEORI

1. Pengertian Menyontek
1.1. Menurut Ahli
Pengertian menyontek atau menjiplak menurut Purwadarminta sebagai suatu kegiatan mencontoh/meniru/mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya. Cheating (menyontek) menurut Wikipedia Encyclopedia sebagai suatu tindakan tidak jujur yang dilakukan secara sadar untuk menciptakan keuntungan yang mengabaikan prinsip keadilan. Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pelanggaran aturan main yang ada.
Abdullah Alhadza dalam Admin (2004) mengutip pendapat dari Bower (1964) yang mendefinisikan “cheating is manifestation of using illigitimate means to achieve a legitimate end (achieve academic success or avoid academic failure),” maksudnya “menyontek” adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Pendapat Bower ini juga senada dengan Deighton (1971) yang menyatakan “Cheating is attempt an individuas makes to attain success by unfair methods.” Maksudnya, cheating adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak jujur.
Dalam konteks pendidikan atau sekolah, beberapa perbuatan yang termasuk dalam kategori menyontek antara lain adalah meniru pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas ataupun take home test.
Dalam perkembangan mutakhir “menyontek” dapat ditemukan dalam bentuk perjokian seperti kasus yang sering terjadi dalam UMPTN/SMPTN, memberi lilin atau pelumas kepada lembaran jawaban komputer atau menebarkan atom magnit dengan maksud agar mesin scanner komputer dapat terkecoh ketika membaca lembar jawaban sehingga gagal mendeteksi jawaban yang salah atau menganggap semua jawaban benar, dan banyak lagi cara-cara yang sifatnya spekulatif maupun rasional.
Dalam tingkatan yang lebih intelek, sering kita dengar plagiat karya ilmiah seperti dalam wujud membajak hasil penelitian orang lain, menyalin skripsi, tesis, ataupun desertasi orang lain dan mengajukannya dalam ujian sebagai karyanya sendiri.
Ternyata praktik “menyontek” banyak macamnya, dimulai dari bentuk yang sederhana sampai kepada bentuk yang canggih. Teknik “menyontek” tampaknya mengikuti pula perkembangan teknologi, artinya semakin canggih teknologi yang dilibatkan dalam pendidikan semakin canggih pula bentuk ”menyontek” yang bakal menyertainya. Bervariasi dan beragamnya bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai “menyontek” maka sekilas dapat diduga bahwa hampir semua pelajar pernah melakukan ”menyontek” meskipun mungkin wujudnya sangat sederhana dan sudah dalam kategori yang dapat ditolerir.
Meskipun demikian dapat dikatakan bahwa apapun bentuknya, dengan cara sederhana ataupun dengan cara yang canggih, dari sesuatu yang sangat tercela sampai kepada yang mungkin dapat ditolerir, ”menyontek” tetap dianggap oleh masyarakat umum sebagai perbuatan ketidakjujuran, perbuatan curang yang bertentangan dengan moral dan etika serta tercela untuk dilakukan oleh seseorang yang terpelajar.
Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan “menyontek” dalam tulisan ini adalah segala perbuatan atau trik-trik yang tidak jujur, perilaku tidak terpuji atau perbuatan curang yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik terutama yang terkait dengan evaluasi/ujian hasil belajar.
1.2. Menurut Kalangan Pelajar
Siswa kelas X.1 SMA Negeri 18 Makassar (2011) menyontek adalah sebuah kebohongan yang didasarkan pada aspek-aspek tertentu.
A. Besse Ika Putri (2011) menyontek adalah perbuatan dosa yang mengakibatkan seseorang menjadi koruptor.
Akhsan Yunus (2011) menyontek adalah menjiplak pekerjaan orang lain secara sengaja baik pernyataan yang benar maupun salah.









Gambar 1 Grafik Pengakuan siswa tentang menyontek
Sungguh dunia pendidikan kita sangat “hebat” siswa kelas X.1 menyatakan bahwa mereka semua melakukan praktek menyotek dalam proses belajar menyajar. Miris!
2. Faktor Siswa Menyontek
Menurut Nugroho (2008), yang menjadi penyebab munculnya tindakan ”menyontek” bisa dipengaruhi beberapa hal. Baik yang sifatnya berasal dari dalam (internal) yakni diri sendiri maupun dari luar (eksternal) misalnya dari guru, orang tua maupun sistem pendidikan itu sendiri.
 Faktor dari dalam diri sendiri
a. Kurangnya rasa percaya diri pelajar dalam mengerjakan soal. Biasanya disebabkan ketidaksiapan belajar baik persoalan malas dan kurangnya waktu belajar.
b. Orientasi pelajar pada nilai bukan pada ilmu.
c. Sudah menjadi kebiasaan dan merupakan bagian dari insting untuk bertahan.
d. Merupakan bentuk pelarian/protes untuk mendapatkan keadilan. Hal ini disebabkan pelajaran yang disampaikan kurang dipahami atau tidak mengerti dan sehingga merasa tidak puas oleh penjelasan dari guru.
e. Melihat beberapa mata pelajaran dengan kacamata yang kurang tepat, yakni merasa ada pelajaran yang penting dan tidak penting sehingga mempengaruhi keseriusan belajar.
f. Terpengaruh oleh budaya instan yang mempengaruhi sehingga pelajar selalu mencari jalan keluar yang mudah dan cepat ketika menghadapi suatu persoalan termasuk test/ujian.
g. Tidak ingin dianggap sok suci dan lemahnya tingkat keimanan.
 Faktor dari Guru
a. Guru tidak mempersiapkan proses belajar mengajar dengan baik sehingga yang terjadi tidak ada variasi dalam mengajar dan pada akhirnya murid menjadi malas belajar.
b. Guru terlalu banyak melakukan kerja sampingan sehingga tidak ada kesempatan untuk membuat soal-soal yang variatif. Akibatnya soal yang diberikan antara satu kelas dengan kelas yang lain sama atau bahkan dari tahun ke tahun tidak mengalami variasi soal.
c. Soal yang diberikan selalu berorientasi pada hafal mati dari text book.
d. Tidak ada integritas dan keteladan dalam diri guru berkenaan dengan mudahnya soal diberikan kepada pelajar dengan imbalan sejumlah uang.
 Faktor dari Orang Tua
a. Adanya hukuman yang berat jikalau anaknya tidak berprestasi.
b. Ketidaktahuan orang tua dalam mengerti pribadi dan keunikan masing-masing dari anaknya, sehingga yang terjadi pemaksaan kehendak
 Faktor dari Sistem Pendidikan
a. Meskipun pemerintah terus memperbaharui sistem kurikulum yang ada, akan tetapi sistem pengajarannya tetap tidak berubah, misalnya tetap terjadi one way yakni dari guru untuk siswa.
b. Muatan materi kurikulum yang ada seringkali masih tumpang tindih dari satu jenjang ke jenjang lainnya yang akhirnya menyebabkan pelajar/siswa menganggap rendah dan mudah setiap materi. Sehingga yang terjadi bukan semakin bisa melainkan pembodohan karena kebosanan.
Faktor-faktor penyebab siswa menyontek yang dilihat penulis di sekolah antara lain adalah:
a. Tekanan yang terlalu besar yang diberikan kepada “hasil studi” berupa angka dan nilai yang diperoleh siswa dalam ujian.
b. Akhlak yang buruk, diantaranya khianat, zalim, melanggar hak, bohong, dan menipu. Hal ini disebabkan karena pendidikan moral baik di rumah maupun di sekolah kurang diterapkan dalam kehidupan siswa.
c. Sikap malas yang terukir dalam diri siswa sehingga ketinggalan dalam menguasai mata pelajaran dan kurang bertanggung jawab.
d. Kurang mengerti arti dari pendidikan.
e. Anak remaja lebih sering menyontek dari pada anak SD, karena masa remaja bagi mereka penting sekali memiliki banyak teman dan populer di kalangan teman- teman sekelasnya.







Gambar 2 Grafik Pelajaran Sulit Bagi Siswa
Dari beberapa faktor penyebab di atas, dapat dikatakan siswa memiliki masalah di sekolah dan konsep diri yang rendah. Maka sebagai guru berkewajiban memberikan motivasi kepada siswa agar tidak siswa yang menyontek saat ujian dan ulangan dengan membiasakan bersikap jujur dalam setiap perbuatan yang dilakukan siswanya dan membangkitkan konsep percaya diri dan berusaha diri yang lebih baik.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam setiap kegiatan secara maksimal guru agama Islam dalam memahami masalah siswa, menurut Muhaimin dan Abd. Mujib adalah sebagai berikut:
a. Siswa bukanlah miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan denagan orang dewasa.
b. Siswa mengikuti periode- periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implimintasi terhadap pendidikan adalah bagaimana menyesuaikan proses pendidiakn itu dengan pola dan tempo, serta irama dan perkembangan siswa itu sendiri.
c. Siswa memiliki kebutuhan dan menuntut untuk memenuhi kebutuhan itu semaksimal mungkin.
d. Siswa memiliki perbedaan antara individu – individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan faktor endogen ( fitrah) maupun eksogen ( lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat dan lingkungan yang mempengaruhinya.
e. Siswa dipandang sebagai kesatuan sistem manusia ( cipta, rasa ,karsa).
f. Siswa merupakan objek pendidikan yang aktif dan kreatif serta produktif.
3. Menyontek sebagai Budaya
3.1. Dalam Pendidikan
Menyontek atau cheating memang bukan hal baru dalam dunia pendidikan, yang biasanya dilakukan oleh seorang atau sekelompok siswa pada saat menghadapi ujian (test), misalnya dengan cara melihat catatan atau melihat pekerjaan orang lain atau pada saat memenuhi tugas pembuatan makalah dengan cara menjiplak karya orang lain dengan tanpa mencantumkan sumbernya (plagiat).
Menurut Wikipedia cheating merupakan tindakan bohong, curang, penipuan guna memperoleh keuntungan teretentu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Meski tidak ditunjang dengan bukti empiris, banyak orang menduga bahwa maraknya korupsi di Indonesia sekarang ini memiliki korelasi dengan kebiasaan menyontek yang dilakukan oleh pelakunya pada saat dia mengikuti pendidikan.
Sebenarnya, secara formal setiap sekolah atau institusi pendidikan lainnya pasti telah memiliki aturan baku yang melarang para siswanya untuk melakukan tindakan nyontek. Namun kadang kala dalam prakteknya sangat sulit untuk menegakkan aturan yang satu ini. Pemberian sanksi atas tindakan nyontek yang tidak tegas dan konsisten merupakan salah satu faktor maraknya perilaku nyontek.
Dibawah ini penulis memaparkan lama belajar siswa kelas X.1 SMA Negeri 18 Makassar.













Gambar 3 Grafik Persentase Lama Belajar Siswa X.1
3.2. Dalam Ujian
Menurut Dien F. Iqbal, dosen Fakultas Psikologi Unpad, seperti yang dikutip Rakasiwi (2007) orang menyontek disebabkan faktor dari dalam dan di luar dirinya. Dalam ilmu psikologi, ada yang disebut konsep diri dan harga diri. Konsep diri merupakan gambaran apa yang orang-orang bayangkan, nilai dan rasakan tentang dirinya sendiri. Misalnya, anggapan bahwa, "Saya adalah orang pintar". Anggapan itu lalu akan memunculkan kompenen afektif yang disebut harga diri. Namun, anggapan seperti itu bisa runtuh, terutama saat berhadapan dengan lingkungan di luar pribadinya. Di mana sebagai kelompok, maka harus sepenanggungan dan senasib. Senang bersama, duka mesti dibagi.
Menurut Penulis (2009) dalam makalahnya mengenai masalah menyontek yang ia istilahkan dengan “Mempatron” menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada sekitar 100 orang teman sekolah di SMP Negeri 36 Makassar. Dari hasil koesioner tersebut didapatkan jawaban tentang alasan seseorang melakukan cheating dengan pengelompokan sebagai berikut.
a. Karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan cheating meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
b. Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks.
c. Merasa guru kurang adil dan diskriminatif dalam pemberian nilai.
d. Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat.
e. Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
f. Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
g. Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan kecil.
h. Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk berdekatan.
i. Merasa sudah sulit menghafal atau mengingat karena faktor usia, sementara soal yang dibuat penguji sangat menekankan kepada kemampuan mengingat.
j. Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.
k. Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada guru lebih efektif daripada belajar serius.
l. Penugasan guru yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara.
m. Yakin bahwa guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan pengalaman sebelumnya sehingga bermaksud membalas dengan mengelabui guru yang bersangkutan.
Siswa sering kali harus belajar ekstra keras saat akan menghadapi ujian namun penulis sangat terkejut saat hasil koesioner menunjukkan hanya 10% dari siswa kelas X.1 yang belajar saat ulangan.







Gambar 4 Grafik Persentase Saat Belajar Siswa
3.3. Tuntutan Siswa
Kenyataan di lapangan memberikan sebuah analisis bahwa sistem evaluasi yang diterapkan sekarang ini tidak memberikan celah bagi peserta didik untuk membuktikan diri sebagai “seseorang” dengan cara lain kecuali dengan mendapatkan nilai yang baik. Dalam sosiologi, salah satu motif setiap orang untuk berinteraksi adalah untuk mendapatkan penghargaan dari lingkungannya. Dengan kata lain, untuk mendapatkan penghargaan ini harus ditempuh dengan mendapatkan nilai yang baik maka dengan itu dapat dilakukan cara apapun untuk mendapatkan nilai yang baik.







Gambar 5 Grafik tanggapan siswa tentang menyontek
Umumnya siswa telah mengerti mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Siswa kelas X.1 menganggap bahwa menyontek adalah hal yang wajar. Buktinya 50% dari siswa kelas X.1 menyatakan bahwa menyontek adalah sesuatu yang biasa.
Mari kita bandingkan sistem evaluasi yang dinamakan UAN dengan sistem evaluasi yang dinamakan EBTANAS. Walaupun dalam sistem EBTANAS masih menggunakan evaluasi kuantitatif, tetapi dalam EBTANAS tidak mengenal istilah kelulusan sekolah. Walaupun seseorang peserta EBTANAS mendapatkan nilai yang minim, tetapi masih dapat meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini diperkuat dengan anggapan buruk mengenai peserta didik yang tidak naik kelas, peserta didik yang tidak lulus ujian, maupun peserta didik yang tertinggal dalam pelajaran. Ketika masih menerapkan sistem EBTANAS, koran-koran tidak banyak dipenuhi dengan berita kontroversial seperti halnya ketika sistem UAN dilaksanakan. Inilah analisis “dangkal” untuk membuat kesimpulan bahwa sistem EBTANAS masih jauh lebih baik dari pada sistem UAN. Lebih jauh lagi ketika kita bandingkan sistem evaluasi dalam sekolah formal dengan sistem evaluasi yang diterapkan di pesantren-pesantren tradisional. Pesantren tradisional tidak mengenal pengkelas-kelasan dan justifikasi berdasarkan tingkat kecakapan santri, tetapi murni didasarkan oleh materi yang diberikan. Setiap santri berhak untuk mengikuti kelas manapun dengan tingkat kesulitan apapun dengan sekehendak santri. Pesantren pun tidak mengenal jangka waktu pengajaran ataupun jangka waktu belajar. Setiap santri berhak untuk menentukan apakah dia merasa cukup atau tidak dalam menerima sebuah materi ajar. Keunggulan pesantren tradisional dengan segala kekurangan terutama terkait kesejahteraan adalah dapat menciptakan seseorang dengan totalitas hasrat keilmuan, kesederhanaan, dan orang-orang yang dapat melebur dengan masyarakatnya.
Beralih kembali ke permasalahan kebiasaan menyontek dalam konteks masyarakat ialah tidak adanya penerapan budaya malu dalam menyontek. Pendidik atau guru pada saat terjebak dengan pandangan penerapan budaya malu dengan penerapan mempermalukan. Hal ini terlihat dengan adanya konsekuensi yang biasa diberikan kepada pelaku dengan mempermalukan di depan teman-temannya yang lain atau lingkungan lain atas tindakan menyontek. Penerapan budaya malu lebih kepada upaya brain washing untuk mendoktrin setiap orang bahwa menyontek adalah upaya yang sangat memalukan dan tidak memerlukan sebuah hukuman langsung terhadap pelaku. Setiap orang yang ingin menyontek akan merasa bahwa setiap orang bahkan dirinya sendiri akan mengawasi dan menghakiminya ketika dia menyontek. Suatu ironi hal ini tidak berlaku dalam masyarakat kita yang dikenal dengan mitos masyarakat yang santun, ramah, bermoral dll.
Pandangan di atas menghilangkan faktor individu sebagai sebuah permasalahan seperti pandangan bahwa seseorang menyontek karena ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, adanya sifat pemalas pada individu maupun pandangan-pandangan lain yang lebih mengarah pada penghakiman terhadap individu. Hal ini dikarenakan penulis menyepakati sebuah anggapan bahwa bagaimanapun sebuah sistem jauh lebih penting dari pada pelaku sistem itu sendiri, pertama karena pelaku sistem adalah bagian dari sistem itu sendiri dan kedua adalah sebaik-baiknya pelaku sistem pasti akan menyesuaikan diri dengan sistem itu sendiri.
4. Keinginan Siswa Untuk Belajar
Keinginan siswa untuk belajar sudah cukup besar, namun ketakutan akan momok seperti tidak naik kelas, nilai yang merah, dan sebagainya membuat mereka menyontek apapun resikonya. Menyontek dalam hal seperti ini adalah satu-satunya jalan terbaik bagi para siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Banyak faktor yang mendorong siswa menyontek. Salah satunya karena kondisi otak yang sulit diajak kompromi untuk mengingat rumus-rumus, macam-macam teori dan sebagainya. Awalnya mereka sudah berusaha belajar, tapi karena cara mereka belajar yang salah yaitu dengan sistem SKS (Sistem Kejar Semalam) akhirnya jadi lupa semua. Bagaimana tidak, dalam semalam harus belajar untuk dua sampai tiga pelajaran yang catatannya sangat banyak, mungkin bisa sampai sebuku tulis. Lalu mereka berfikir daripada tidak bisa menjawab, mereka akhirnya membuat catatan - catatan mini yang kemudian dipergunakan saat kondisi mendesak sebagai antisipasi mengatasi kelupaan.
Ada juga menyontek karena sudah jadi kebiasaan, yang awalnya atas dasar coba - coba. Setelah dijalani, ternyata mereka ketagihan karena ada jalan pintas. Sebenarnya mereka bisa menyelesaikan soal - soal ujian tanpa bantuan lain. Namun karena sudah biasa jadi agak riskan kalau tidak melihat isi si 'kertas mini' ini alias contekan, seperti ada yang hilang saja gitu. Mereka jadi merasa tidak percaya diri dengan kemampuan dirinya sendiri.
Kohlberg dalam Pidarta (2000) mengemukakan ada tiga tingkat perkembangan moral kognisi yaitu:
a. Tingkat prekonvensional
 Orientasi kepatuhan dan hukuman seperti kebaikan dan keburukan.
 Orientasi egois yang naif seperti tindakan yang betul ialah yang memuaskan kebutuhan orang lain.
b. Tingkat Konvensional
 Orientasi anak baik, seperti perilaku yang baik ialah bila disenangi orang lain.
 Orientai mempertahankan peraturan dan norma sosial, seperti perilaku yang baik ialah yang sesuai dengan haarapan keluarga, kelompok atau bangsa.
c. Tingkat Post-konvensional
 Orientasi kontrak sosial yang legal seperti tindakan yang betul ialah yang mengikuti standar masyarakat.
 Orientasi prinsip etika seperti tindakan yang betul ialah melatih kesadaran mengikuti
 keadilan dan kebenaran universal.
Sangat miris rasanya, jika siswa hanya menghabiskan waktunya untuk belajar. Ini semua berarti tingkat keinginan siswa hanya 40%, meskipun itu sudah cukup banyak namun setengah dari siswa kelas X.1 menghabiskan waktu senggangnya untuk menonton TV.








Gambar 6 Grafik Persentase Kegiatan Siswa di Waktu Luang
5. Cara-cara Siswa Menyontek
Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi (2005), biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda (kognitif). Pelajaran agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek afektif, ternyata juga di "kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada proses refleksi dan apresiasi.
Pengalaman penulis ketika di Sekolah Dasar budaya menyontek sudah mulai ada, ketika latihan menjawab soal-soal matematika, beberapa teman-teman sudah berani melihat jawaban temanya dan menyalinnya. Di Sekolah Menengah Pertama, penulis menjadi korban teman yang nakal dan malas yang secara tiba-tiba mengambil jawaban penulis dan menyalinnya di lembar jawabannya, perbuatan ini tidak bisa dicegah karena ada rasa takut dan kasihan dengannya. Bahkan terkadang mereka tanpa takut dan malu melihat buku catatan dan meminta jawaban kepada teman yang dianggap pintar ketika ujian. Perbuatan ini mungkin saja diketahui oleh pengawas atau guru mata pelajaran yang diujikan, atau mungkin pula mereka pura-pura tidak tahu, entahlah yang jelas nilai ujian mereka ternyata hasilnya cukup baik.












Gambar 7 Grafik Cara Siswa Menyontek
Di bawah ini penulis memaparkan bebarapa cara siswa menyontek :
a. Kertas Ajaib
Cara ini biasa disebut konsep, namun penulis menyebutnya sebagai “Kertas Ajaib”. Sama saja dengan merangkum, tetapi isi buku yang penting-penting ditulis pada selembar kertas berukuran kecil.
b. Buku Pintar
Buku Pintar, siswa biasanya menyimpan buku catatan, buku tugas, atau buku paket dibawah laci meja saat tas atau bawaan lain siswa dikumpul di depan ruangan ujian.
c. Google
Teknologi yang semakin berkembang di saat sekarang ini membuat menyontek menjadi lebih mudah, siswa yang membawa handphone dapat mencari jawaban dari soal ujian dengan mengakses link-link yang ada di Goggle.


d. Nge-Batik
Cara ini biasanya digunakan saat ujian dadakan atau siswa yang tidak tahu kalau sebenarnyaada ujian. Cara ini cukup mudah, poin-poin penting dari materi yang akan diujiankan ditulis diatas meja dengan menggunakan bolpoin.
e. SMS Penyelamat
SMS (Short Message Service) digunakan olehb siswa saat benar-benar tidak tahu kemana untuk mencari jawaban. Biasanya untuk cara seperti ini siswa mengirimkan SMS untuk teman yang berada di ruang ujian lain.
6. Dampak-Dampak Menyontek
Menurut Bandura (dalam Vegawati, Oki dan Noviani, 2004), fungsi psikologis merupakan hubungan timbal balik yang interdependen dan berlangsung terus menerus antara faktor individu, tingkah laku, dan lingkungan. Dalam hal ini, faktor penentu tingkah laku internal ( keyakinan dan harapan), serta faktor penentu eksternal ( "hadiah" dan "hukuman") merupakan bagian dari sistem pengaruh yang saling berinteraksi. Proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat proses, yaitu atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi.
Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004), Pada saat dorongan tingkah laku menyontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia menyontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku menyontek itu menjadi sebuah informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku menyontek, baik secara maya (imaginary) maupun nyata (visual).
Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, yaitu memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku menyontek untuk memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan tingkah laku menyontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang akan diterimanya bila ia menyontek.

Gambar 8 Mata Pelajaran Yang Diremidialkan Siswa
Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa, kepuasan diri terhadap "prestasi" akademik yang dimilikinya, dan juga karena sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk menyontek. Masalah kepuasan "prestasi" akademik juga akan menjadi sebuah konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk menyontek. Bila ia menyontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang diperolehnya.
Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya nilai hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah sebuah proses manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil Anwar mengungkapkan, bahwa menyontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan pendidikan Indonesia. Ibarat jarum kecil di bagian karburator motor. Sekali saja jarum itu rusak, mesin motor pun mati.
Dampak yang timbul dari praktek menyontek yang secara terus menerus dilakukan akan mengakibatkan ketidakjujuran Jika tidak, niscaya akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor. (Poedjinoegroho, 2006)
Pengajaran yang orientasinya siswa mampu menjawab soal dan bukan pada pengertian serta pengembangan inovasi dan kreatifitas siswa akan menumbuhkan kebosanan, kejenuhan, suasana monoton yang dapat berakibat stress. Sudah waktunya sistem pendidikan kita bersifat two way communication antara guru dan siswa. Kelompok kerja makalah, presentasi, pembuatan alat peraga, studi lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orang tua siswa) kiranya lebih digiatkan daripada menimbuni siswa dengan soal-soal yang banyak tapi dikerjakan dengan menyontek. (Widiawan,1995).
Jika masalah menyontek ini masih saja dianggap sepele oleh semua orang, tidak akan respon dan tanggapan dari guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidkan para pakar pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, penulis pesimis dunia pendidikan akan maju, kreatifitas siswa akan hilang yang tumbuh mungkin orang-orang yang tidak jujur yang bekerja disemua sektor kehidupan.
Beralih kembali ke permasalahan kebiasaan menyontek dalam konteks masyarakat ialah tidak adanya penerapan budaya malu dalam menyontek. Pendidik atau guru pada saat terjebak dengan pandangan penerapan budaya malu dengan penerapan mempermalukan. Hal ini terlihat dengan adanya konsekuensi yang biasa diberikan kepada pelaku dengan mempermalukan di depan teman-temannya yang lain atau lingkungan lain atas tindakan menyontek. Penerapan budaya malu lebih kepada upaya brain washing untuk mendoktrin setiap orang bahwa menyontek adalah upaya yang sangat memalukan dan tidak memerlukan sebuah hukuman langsung terhadap pelaku. Setiap orang yang ingin menyontek akan merasa bahwa setiap orang bahkan dirinya sendiri akan mengawasi dan menghakiminya ketika dia menyontek. Suatu ironi hal ini tidak berlaku dalam masyarakat kita yang dikenal dengan mitos masyarakat yang santun, ramah, bermoral dll.
Pandangan di atas menghilangkan faktor individu sebagai sebuah permasalahan seperti pandangan bahwa seseorang menyontek karena ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, adanya sifat pemalas pada individu maupun pandangan-pandangan lain yang lebih mengarah pada penghakiman terhadap individu. Hal ini dikarenakan penulis menyepakati sebuah anggapan bahwa bagaimanapun sebuah sistem jauh lebih penting dari pada pelaku sistem itu sendiri, pertama karena pelaku sistem adalah bagian dari sistem itu sendiri dan kedua adalah sebaik-baiknya pelaku sistem pasti akan menyesuaikan diri dengan sistem itu sendiri.
Lewis R. Aiken dalam Admin (2004) melaporkan bahwa kecenderungan melakukan ”menyontek” di Amerika Serikat meningkat sehingga tidak saja memprihatinkan dunia pendidikan tetapi juga telah menjadi bagian keprihatinan kalangan politisi. Dikatakan bahwa kasus ”menyontek” tidak hanya melibatkan siswa sebagai individu pelaku tetapi ”menyontek” disinyalir telah dilakukan oleh institusi pendidikan dengan melibatkan pejabat-pejabat pendidikan seperti guru, superintendant, school districtst dll. Pada penelitian Aiken yang ditujukan kepada kasus CAP dan CTBS (California Achievement Program dan California Test for Basic Skills), suatu ujian yang diselenggarakan oleh lembaga independen ditemukan bahwa alasan siswa melakukan ”menyontek” karena adanya tekanan yang dirasakan oleh siswa dari orang tuanya, kelompoknya, guru, dan diri mereka sendiri untuk mendapatkan nilai tinggi. Selanjutnya, alasan bagi pejabat pendidikan untuk membantu siswa dalam mengerjakan tes atau mengubah jawaban yang salah dengan jawaban yang benar sebelum lembaran jawaban diserahkan kepada lembaga penyelenggara, adalah karena hal itu menyangkut reputasi sekolah, menyangkut anggaran pendidikan yang akan dibayar oleh masyarakat. Hal itu terjadi karena hasil tes tidak saja mengevaluasi kemampuan individual siswa tetapi juga mengevaluasi reputasi dan kompetensi guru, kepala sekolah, dan pejabat pendidikan lainnya yang memiliki akuntabilitas langsung kepada masyarakat, politisi, dan kalangan bisnis.
Terlepas dari semua itu, banyak siswa yang mengakui bahwa mereka menyontek pasda saat tidak tahu jawaban dari soal-soal yang diberikan oleh guru dan termasuk saat ulangan berlangsung. Pada dasarnya koesioner tidak menyadari bahwa ketidakmapuan mereka menjawab soal ujian merupakan salah satu faktor penyebab mereka menyontek.







Gambar 9 Grafik Waktu Siswa Menyontek
7. Pengaruh Mentontek Bagi Prestasi Siswa
Dalam hubungannya dengan prestasi belajar, prestasi yang diperoleh dianggap sebagai prestasi palsu, karena diperoleh dari hasil menyontek dan menjiplak. Bukan berdasarkan aturan-aturan dasar untuk berprestasi yang terdiri dari kepandaiaan, kecerdaasan, ketanggapan, dan kerajinan berusaha.








Gambar 10 Grafik Pelajaran Kegemaran Siswa
Fenomena menyontek sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah menyontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu sendiri.
Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek menyontek.
Dalam hubungannya dengan prestasi belajar, prestasi yang diperoleh dianggap sebagai prestasi palsu, karena diperoleh dari hasil menyontek dan menjiplak. Bukan berdasarkan aturan-aturan dasar untuk berprestasi yang terdiri dari kepandaiaan, kecerdaasan, ketanggapan, dan kerajinan berusaha.








Grafik 11 Grafik Banyak Mata Pelajaran Yang Diremidialkan Siswa
8. Penanggulangan Menyontek Bagi Siswa
Meskipun tenaga pengajar harus mengambil tindakan untuk mempertahankan dan mengembangkan pola perilaku dipihak siswa yang mendukung belajar disekolah, namun ia akan tetap dihadapkan pada perilaku yang menghambat dan di fromokasikan dengan siswa yang menganggu dan mengancam.
Pada saat ini, tidak dapat disangkal bahwa guru dikelas kerap ditantang untuk mengatasi tingkah laku sejumlah siswa yang deskruftif, lebih-lebih dikota besar. Gejala umum ini bersumber pada berbagai faktor penyebab, yaitu runtuhnya disiplin hidup bersama dalam masyarakat, menipisnya kesadaran dan tanggung jawab sosial banyak kalangan, suasana sekolah yang kurang memberikan kepuasan pada siswa, rasa ketertiban sebagai tenaga kependidikan dipihak sejulah guru yang mengendor. Guru sebagai orang terdekat dalam pembelajaran disekolah, memiliki tanggung jawab membimbing siswa. Tindakan guru pada umumnya dalam pelaksanaan ujian dan ulangan dengan memberikan penguatan dan peneguhan terhadap sikap dan perilaku mereka yang positif, dimana mereka
berusaha sendiri menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tertib.









Gambar 12 Grafik Siswa Saat Ketahuan Menyontek
Namun bila tidak ada perilaku positif yang dapat diberikan penguatan dan peneguhan maka dibutuhakan pendekatan lain yaitu:
a. Cuing Promping, yaitu siasat memberikan tanda, guru menyajikan suatu perangsang yang berfungsi sebagai pemberitahuan bahwa siswa diharapkan berbuat sesuatu yang sebenarnya dapat mereka lakukan, tetapi belum dilakukan.
b. Model, yaitu guru memberikan model yang ditiru oleh siswanya.
c. Shaping, yaitu membuat tingkah laku secara berlahan-lahan, yaitu setiap tingkah laku siswa, seperti mengatur buku, menyapa guru atau teman, cara ini memerlukan kesabaran yang sangat dari guru.
Adapun tindakan kuratif guru, berlaku bagi siswa yang sudah terbiasa dengan contek-menyontek, dengan memberikan peringatan . bentuk kongkrit dari peringatan dapat bermacam- macam, yaitu :
a. Teguran Verbal, yaitu mendekati siswa tertentu dengan berbicara suara kecil sehingga tidak terdengar oleh teman sekelas.
b. Mengambil suatu hal yang digemari atau disukai siswa, seperti mengikuti kegiatan tertentu atau menyerahkan benda yang dipegangnya.
c. Mengisolasi siswa dari teman – temannya untuk waktu tidak terlalu lama, seperti memindahkannya diruang kosong atau tempat yang jarang dilalui orang.
d. Memberikan sanksi yang berat kepada para pelajar pencontek dan kepada semua pihak yang berperan di dalamnya.
e. Memberikan pelajaran akhlak kepada para pelajar, sekaligus menyadarkaan bahwa Allah selalu mengawasinya, sekaligus menyadarkan akan pentingnya amanah, kejujuran, serta menjelaskan hramnya perbuatan khianat, bohong, serta menipu.
f. Menumbuhkan pada diri pelajar rasa percaya diri pada diri sendiri, karena merupakan pangkal keberhasilan dan prestasi. Guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran.
Jadi dari bentuk tindakan guru yang telah dipaparkan, guru dapat membantu siswanya untuk meninggalkan kebiasaan menyontek dalam ujian atau ulangan dengan berusaha.
a. Membentuk hubungan saling menghargai antara guru –siswa, serta menolong murid bertindak jujur dan tanggung jawab.
b. Membuat dan mendukung peraturan sehubungan dengan menyontek, karena siswa memahami peraturan dari tindakan guru.
c. Mengembangkan kebiasaan dan keterampilan belajar yang baik dan menolong siswa merencanakan, melaksanakan cara belajar siswa.
d. Tidak membiarkan siswa menyontek jika hal tersebut terjadi dalam kelas dengan teguran atau cara lain yang pantas dengan perbuatannya, sebagai penerapan disiplin.
e. Menekankan “ Belajar” lebih sekedar mendapat nilai, yaitu membantu siswa memahami arti belajar sebagai suatu tujuan mereka sekolah, dan nilai akan berarti bila murni dengan kemampuan siswa sendiri.
f. Bertanggung jawab merefleksikan “kebenaran dan kejujuran”, yaitu guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran.
g. Menggunakan test subjektif sebagai dasar proses ulangan dan ujian.
Dari uraian di atas dapat diidentifikasi bahwa ada empat faktor yang menjadi penyebab menyontek yaitu:
 Faktor individual atau pribadi dari penyontek.
 Faktor lingkungan atau pengaruh kelompok.
 Faktor sistem evaluasi.
 Faktor guru atau penilai.
Berkenaan dengan asas moral di atas, dapat ditegaskan bahwa yang terpenting dalam pendidikan moral adalah bagaimana menciptakan faktor kondisional yang dapat mengundang dan memfasilitasi seseorang untuk selalu berbuat secara moral dalam ujian (tidak “menyontek”) maka caranya adalah mengkondisikan keempat faktor di atas ke arah yang mendukung, yaitu sebagai berikut:
 Faktor pribadi dari penyontek
a. Bangkitkan rasa percaya diri.
b. Arahkan self consept mereka ke arah yang lebih proporsional.
c. Biasakan mereka berpikir lebih realistis dan tidak ambisius.
 Faktor Lingkungan dan Kelompok
Ciptakan kesadaran disiplin dan kode etik kelompok yang sarat dengan pertimbangan moral.
 Faktor Sistem Evaluasi
a. Buat instrumen evaluasi yang valid dan reliable (yang tepat dan tetap).
b. Terapkan cara pemberian skor yang benar-benar objektif.
c. Lakukan pengawasan yang ketat.
d. Bentuk soal disesuaikan dengan perkembangan kematangan peserta didik dan dengan mempertimbangkan prinsip paedagogy serta prinsip andragogy.
 Faktor Guru
a. Berlaku objektif dan terbuka dalam pemberian nilai.
b. Bersikap rasional dan tidak ”menyontek” dalam memberikan tugas ujian/tes.
c. Tunjukkan keteladanan dalam perilaku moral.
d. Berikan umpan balik atas setiap penugasan.
Menyikapi fenomena contek-menyontek dikalangan para siswa sebenarnya kita bisa saja memutus rantai itu dengan menumbuhkan imej dari remaja tersebut bahwa kita bisa solider dalam banyak hal, tetapi tidak dalam hal ujian. Dengan sikap seperti itu maka diharapkan akan meminimalisasi contek menyontek di kalangan remaja. Tumbuhkan rasa percaya diri dengan merasa puas akan hasil kerja sendiri. Mengubah kebiasaan. Mungkin pada awalnya memang bukan hal gampang, tapi kalau kita memang meniatkan dalam hati, yakinlah bahwa tak ada satu hal pun yang tidak mungkin.







BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Menyontek adalah salah satu wujud perilaku dan ekspresi mental seseorang. Ia bukan merupakan sifat bawaan individu, tetapi sesuatu yang lebih merupakan hasil belajar/pengaruh yang didapatkan seseorang dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, menyontek lebih sarat dengan muatan aspek moral daripada muatan aspek psikologis.
Dalam batas-batas tertentu menyontek dapat dipahami sebagai sesuatu fenomena yang manusiawi, artinya perbuatan menyontek bisa terjadi pada setiap orang sehingga asumsi di depan yang menyatakan bahwa ada korelasi antara perilaku menyontek di sekolah dengan perilaku kejahatan seperti korupsi di masyarakat adalah terlalu spekulatif dan sulit dibuktikan secara nalar ilmiah. Meskipun demikian tak dapat disangkal bahwa menyontek bisa membawa dampak negatif baik kepada individu, maupun bagi masyarakat. Dampak negatif bagi individu akan terjadi apabila praktek menyontek dilakukan secara kontinyu sehingga menjurus menjadi bagian kepribadian seseorang.
Selanjutnya, dampak negatif bagi masyarakat akan terjadi apabila masyarakat telah menjadi terlalu permisif terhadap praktek menyontek sehingga akan menjadi bagian dari kebudayaan, dimana nilai-nilai moral akan terkaburkan dalam setiap aspek kehidupan dan pranata sosial.
Sebagai bagian dari aspek moral, maka terjadinya menyontek sangat ditentukan oleh faktor kondisional yaitu suatu situasi yang membuka peluang, mengundang, bahkan memfasilitasi perilaku menyontek. Seseorang yang memiliki nalar moral, yang tahu bahwa menyontek adalah perbuatan tercela, sangat mungkin akan melakukannya apabila ia dihadapkan kepada kondisi yang memaksa.
Mencegah menyontek tidaklah cukup dengan sekedar mengintervensi aspek kognitif seseorang, akan tetapi yang paling penting adalah penciptaan kondisi positif pada setiap faktor yang menjadi sumber terjadinya menyontek, yaitu pada faktor siswa, pada lingkungan, pada sistem evaluasi dan pada diri guru.
Oleh karena setiap orang berpotensi untuk melakukan menyontek dan terdapatnya gejala kecenderungan semakin maraknya praktek menyontek di dunia pendidikan, maka perlu segera dilakukan review atau reformulasi sistem atau cara pengujian, penyelenggaraan tes yang berlangsung selama ini baik yang diselenggarakan secara massal oleh suatu badan atau kepanitiaan maupun yang diselenggarakan secara individual oleh setiap guru.
Dengan Pemaparan dan Isi karya tulis diatas dapat disimpulkan bahwa menyontek dapat berpengaruh bagi prestasi siswa kelas X.1 SMA Negeri 18 Makassar.
2. Saran
a. Pemberian tes lisan ini dilakukan penulis secara bertahap, tidak sekaligus pada waktu ulangan atau ujian, karena cara ini menggunakan waktu yang lama. Disamping itu tes tulisan juga masih digunakan sebagai pembanding kemampuan siswa-siswi
Penulis mengharapkan ada kesepakatan bersama semua komponen yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan untuk memerangi masalah menyontek atau cheating bagi pelajar dalam ulangan atau ujian yang diberikan oleh guru, sekolah maupun pemerintah (Ujian Nasional). Karena sistem sekarang ini masih menggunakan penilaian nasional, maka yang terpenting kita sebagai subyek pendidikan yang berlaku jujur dalam mengelola pendidikan. Guru dalam menilai harus jujur, pengawas harus jujur mengawasi para siswa, kepala sekolah harus jujur dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Jangan malu dan takut dikatakan gagal meluluskan siswa-siswinya dalam ujian.
b. Menyikapi fenomena contek-menyontek dikalangan para siswa sebenarnya kita bisa saja memutus rantai itu dengan menumbuhkan imej dari remaja tersebut bahwa kita bisa solider dalam banyak tetapi dalam ujian, kita kerja sendiri-sendiri dengan sikap seperti itu maka diharapkan akan meminimalisasi contek-menyontek di kalangan remaja. Tumbuhkan rasa percaya diri dengan merasa puas akan hasil kerja sendiri. Mengubah kebiasaan. Mungkin pada awalnya memang bukan hal gampang.







DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Ngalim, Drs.,M., MP., 2004, Psikologi Pendidikan, Rosdakarya, Bandung
Alhadza, Abdullah, 2004, Masalah menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan, http://www.depdiknas.go.id/Jurnal
Megawangi, Ratna, 2005, Indonesia Merdeka, Manusia Indonesia Merdeka?. http://www.suarapembaruan.com.
Poedjinoegroho, Baskoro. E, 2006, Biasa Mencontek Melahirkan Koruptor, http://ilman05.blogspot.com
Rakasiwi, Agus, 2007, Nyontek, Masuk Katagori “Kriminogen”, http://www.pikiran-rakyat.com
Suparno, Paul, DR, SJ, 2000, Sekolah Memasung Kebebasan Berfikir Siswa, http://www.kompas.com/kompas
Vegawati, Dian., Oki, Dwita.,P.S., Noviani, Dewi Rina, 2004, Perilaku Mencontek di Kalangan Mahasiswa, http://www.pikiran-rakyat.com.
Widiawan, Kriswanto, Ir, 1995, Menyontek Jadi Budaya Baru, http://www.bpkpenabur.or.id/kwiyata
http://www.google.com
Buku yang Relevan



Berilah Tanda silang (x) pada jawaban Anda!
1. Berapa jam Anda belajar dalam sehari?
a. 1 Jam
b. 2 Jam
c. Lebih dari 2 Jam
2. Kapan Anda belajar?
a. Pada saat ada tugas sekolah/ulangan
b. Tergantung mood
c. Kapan saja
3. Di waktu senggang, kegiatan apa yang Anda lakukan?
a. Nonton TV
b. Jalan-jalan
c. Belajar
4. Anda adalah seorang pelajar, bagaimana tanggapan Anda tentang menyontek!
a. Baik
b. 50 : 50
c. Buruk
5. Pernahkah Anda Menyontek?
a. Pernah
b. Tidak
c. Privasi
Untuk jawaban nomor 5 (Lima), jika Anda memilih jawaban A jawablah soal nomor 6-8, jika jawaban Anda B jawablah soal nomor 9-11, jika jawaban Anda C jawablah soal nomor 12-14.
6. Kapan Anda menyontek?
a. Saat lupa mengerjakan tugas/ulangan berlangsung
b. Tidak tahu jawabannya
c. Saat ada kesempatan
7. Bagaimana Anda menyontek?
a. Melihat buku
b. Melirik pekerjaan teman
c. Kedua-duanya
8. Pernahkah Anda ketahuan menyontek?
a. Pernah
b. Tidak
c. Nyaris
9. Bagaimana Jika ada soal yang sulit?
a. Dikosongkan
b. Jawab Asal-asalan
c. Bertanya pada guru jika ada kesempatan
10. Pernahkah Anda berpikir untuk menyontek?
a. Pernah
b. Tidak
c. Terkadang
11. Apa yang menghalangi Anda menyontek?
a. Takut ketahuan
b. Mencoba untuk jujur
c. Ingin tahu kemampun belajar
12. Jelaskan alasannya mengapa jawaban Anda bersifat privasi!
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
13. Mengapa Anda menyembunyikan hal tersebut?
a. Malu
b. Ragu
c. Takut
14. Pernahkah Anda berpikir untuk bersikap jujur?
a. Pernah
b. Tidak
c. Belum tapi akan
15. Pelajaran apa yang Anda gemari?
a. Mipa
b. Sosial
c. Umum
16. Pelajaran apa yang paling sulit bagi Anda?
a. Mipa
b. Sosial
c. Umum
17. Berapa pelajaran yang Anda remedialkan dalam ulangan?
a. 1 mapel - 2 mapel
b. 3 mapel – 4 mapel
c. Lebih dari 4 mapel

18. Mata pelajaran apa saja yang Anda remedialkan?
a. Mipa
b. Sosial
c. Umum











Gambar 3 Pertanyaan Persen Gambar 5 Pertanyaan Persen
1 jam 20% Baik 0%
2 jam 60% Buruk 50%
> 2 jam 20% Biasa 50%

Gambar 4 Pertanyaan Persen Gambar 1 Pertanyaan Persen
Ulangan 10% Pernah 100%
Tergantung 50% Tidak 0%
Kapan Saja 40% Privasi 0%

Gambar 6 Pertanyaan Persen Gambar 9 Pertanyaan Persen
Nonton TV 50% saat ulangan 0%
Jalan-Jalan 10% tidak tahu jawaban 90%
Belajar 40% ada kesempatan 10%

Gambar 7 Pertanyaan Persen Gambar 12 Pertanyaan Persen
Buku 10% Pernah 30%
Teman 70% Tidak 50%
Keduanya 20% Nyaris 20%

Gambar 10 Pertanyaan Persen Gambar 2 Pertanyaan Persen
MIPA 70% MIPA 70%
Sosial 30% Sosial 10%
Umum 0% Umum 20%

Gambar 11 Pertanyaan Persen Gambar 8 Pertanyaan Persen
1-2 Mapel 70% Mipa 40%
3-4 Mapel 10% Sosial 50%
> 4 Mapel 10% Umum 0%
Tidak Ada 10% Tidak Ada 10%
LAMPIRAN HASIL KOESIONER SISWA KELAS X.1 SMA NEGERI 18 MAKASSAR