Selasa, 13 Maret 2012

Ungkapan Pertama... :(

24 February 2012, jam kosong, aku duduk di samping lonceng sekolah lalu seorang guru datang menghampiriku dan bertanya tentang apa yang aku pikirkan saat itu. Aku menghela nafas panjang seraya menunjukkan selembar kartu golongan darah dari petugas Palang Merah. Sang guru bertanya lagi, kenapa dengan kartu ini dan mengapa kau bersedih? Sejenak aku berpikir hingga sang guru menyadarkanku dari lamunan.

Aku hanya tersenyum, sang guru kemudian memulai pembicaraan “jangan banyak pikiran Rul, sebentar lagi kamu akan ujian buanglah dulu pikiran yang tidak penting. Jangan sampai pikiran itu mengganggu sekolahmu karena belakangan ini banyak laporan dari guru-guru kalau kamu tidak pernah masuk dalam mata pelajaran mereka, kalaupun masuk, kamu tidak memperhatikan mereka, kamu hanya melamun. Sebenarnya kamu kenapa?”

“tidak pak, mungkin ini hanya bagian dari “masa labil”, sebentar lagi pasti akan normal kembali.” Jawabku singkat. “ah tidak masuk akal anak seperti kamu itu baru masuk masa labil. Ceritalah sama bapak, anggap saja bapak ini teman kamu” rayu sang guru. Aku berdiri dan mengucapkan terimakasih lalu berpamitan pada pak guru.

Sampai di kelas, aku baru menyadari kalau sebenarnya aku melupakan kartu golongan darah yang ku perlihatkan pada pak guru tadi. Aku duduk di bangku belakang, aku melihat teman-temanku tertawa dengan riang kemudian aku bertanya dalam hati “apa aku bisa seperti mereka suatu saat nanti? Tertawa tanpa kepalsuan tanpa beban yang terkadang membuatku putus asa menjalani hidup? Lalu tiba-tiba aku merasa muak dengan apa yang mereka lakukan, sungguh itu bukan keinginanku”. (Apa aku hanya berusaha berbohong dengan keingian hatiku?)

26 February 2012, aku dipanggil ke musollah sekolah. Disana sudah ada beberapa guru termasuk pak guru yang kemarin. Aku duduk lalu salah seorang guru memberiku map kuning dan kartu golongan darahku yang terlupa kemarin, kemudian guru itu bertanya “inikah yang menyebabkan kamu malas bersekolah belakangan ini? Sejak kapan kamu sadar hal ini? Bisakah kamu menjelaskannya?

Aku tertunduk, rasanya airmata ku akan jatuh, tapi aku tak ingin menangis, aku tak ingin dikatakan lemah. I’m strong so I don’t cry. “Bukan, bukan ini yang membuatku malas, aku tidak malas, aku senang bersekolah tapi anggap saja ini bentuk protes dariku. Sadar? Sampai sekarang aku masih belum sadar, aku masih belum bisa menerima semua ini. Setiap kali ada pendonoran darah, aku selalu menyempatkan diri untuk melakukan cek golongan darah, dan taukah ibu bapak guru semua bagaimana rasanya melihat hasil yang sama dengan hasil yang sebelum-sebelumnya? Taukah kalian bagaimana rasanya sakitnya berharap hal yang mustahil terjadi? Bukan 3 atau 4 kali aku cek golongan darah dengan hasil yang sama. Aku hanya ingin tulisan AB- ini berubah menjadi O” protesku.

Seorang guru bimbingan konseling menatapku tajam. “lalu kamu kenapa?” katanya. “tidak bu, aku hanya ingin sendiri. Aku tak ingin punya banyak teman, mereka semua penuh kepalsuan.” Jawabku. “manusia tidak mampu hidup sendiri” katanya dengan nada yang tinggi. Dengan nada datar aku mencoba menjawabnya “akukan bilang, aku tidak ingin punya banyak teman bukan tidak ingin punya teman. Aku tau manusia tidak akan bisa tanpa manusia lain, aku tau itu dan aku merasakannya dengan pasti. Tapi saat hatiku yang merontah tidak karuan seperti ini, apakah aku harus melawannya? Aku hanya ingin jujur pada hatiku. Saat dia berkata hanya butuh satu orang maka satu oranglah yang aku butuhkan, dan saat hatiku berkata dia butuh orang yang banyak maka aku akan mencari orang yang lebih banyak. Bukan pergaulan yang munafik yang aku cari, tapi pergaulan yang memberikan pelajaran yang berarti dalam hidup. Maaf bu, pak, saya ada ujian harian, saya harus ke kelas. Terimakasih untuk perhatian kalian” aku pamit.

27 February 2012, hari ini ada pendampingan khusus untuk lomba jurnalis tingkat nasional di gedung Erlangga. Aku dan beberapa orang guru mewakili provinsi Sulawesi Selatan bergegas kesana. Sebagai wakil dalam lomba jurnalis nasional, aku tidak ingin di cap ngaret. Di perjalanan salah seorang guru kembali membahas masalah aku yang malas kesekolah, sebenarnya aku juga tidak tau kenapa aku malas sekolah, aku bingung dengan prasaan ku sendiri.

Masuk telinga kanan keluar dari telinga kiri, begitu cepat berlalu ucapan guru itu di perjalanan tadi. Dalam pertemuan di gedung Erlangga itu tak sepatah katapun suara yang aku keluarkan. Aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri, aku ingin mengeluarkan segala penat dihatiku tapi tak mampu ku ungkapkan karena aku tak tau apa penat itu.

Hari ini berakhir dengan air mata. Tangan papa menempel dipipiku, meninggalkan bekas yang sangat “indah”. Goresan sapu mama kini ada lagi di tubuhku. Tidak sakit rasanya di tubuhku untuk semua luka ini. Tapi hatiku…hatiku yang sakit. Hatiku perih, ini kejadian yang ke enam kalinya dalam bulan ini. Aku bertanya, apa salahku pada mereka namun tak satupun yang menjawab, mereka hanya melanjutkan “kerja” mereka. Dan kejadian ini menyadarkanku apa yang mengganggu hidupku.

28 February 2012, hari ini aku tidak masuk sekolah. Jangan tanya kenapa karena jawabannya pasti. Aku tidak akan masuk sekalah dengan kondisi yang seperti ini. Aku tidak bisa berjalan. Wajahku luka, badanku jangan ditanyakan lagi.

Kapan terakhir aku memeluk orang tuaku? Pertanyaan itu terbersit saat aku membaca sebuah novel. Membuka memory. Air mataku jatu mnengingat kejadian demi kejadian yang ku alami selama ini. Hingga aku tau, aku terakhir memeluk mereka sehari sebelum masuk Taman Kanak-kanak. Belasan tahun tak ku rasakan bagamana hangatnya dekapan orang tua. Yang ku rasa hanya bagaimana “Hangatnya” sentuhan “Mesra” mereka.

Aku terlalu sakit menulis semua ini. Biarlah ini menjadi milikku.

Bercerita

Ich Nurul Amalia. Ich war 17 Jahre alt heute. Ich war begeistert. Weil ich in der Lage, Personalausweise. Ich war in der High School Bezirk 18 Makassar. Ich saß in der Klasse 3 naturwissenschaftlichen Fächern. , Die deutsche Sprache Lektionen im 2. Semester ergänzen, dituga wir scannen, um eine Geschichte in deutscher Sprache mit Freunden den Alltag zu schaffen.

Starten Sie den Tag am 05.00. Ich bete Fajr. Dann kochen den Reis zum Frühstück. Danach habe ich wusch das Geschirr der letzten Nacht Mahlzeit. Nachdem Sie die Gerichte, die ich halten das Geschirr und das Kochen von Reis an Ort und Stelle. Während ich kochte Reis und Gemüse als eines Freundes Frühstück.

Als ältester Sohn, jeden Tag muss ich aufstehen und kochen, bevor das Haus wachte aus dem Schlaf. Nach dem Kochen. Ich nehme eine Dusche. Ich duschen mindestens 30 Minuten. Irgendwie verging die Zeit so schnell. Nach einer Dusche mache ich heißen Tee an die Familie nach, dass ich Frühstück aß am Tisch mit ihnen.

Familie belief sich auf 5 Personen, Papa, Mama, ich und zwei Schwestern. Und meine Familie hat ein Pflegekind. Er war jung, bald 2 Jahre alt

Nach dem Frühstück. Ich ging zur Schule, folgen Sie den Unterricht wie gewohnt. Nach der Schule, reinigte ich Haus, Kehren, Wischen, Wäsche waschen, Geschirr spülen, und andere. Mit einem sauberen Haus. Ich ging zur Arbeit. Funktioniert bei mir ist eine Lektion, die Spaß macht und kann nicht in der Schule gelernt werden.
Ich nehme eine Dusche nach der Arbeit. Und verbringen viel Zeit in den Raum besama Computer, Bücher und Bleistifte. Ich liebe es, alles zu tun. Ich strebe Minadis ein Journalist. Ein Journalist der Arbeit ist unglaublich cool, großartig und außergewöhnlich.
Nach einem müden * mit meiner Tätigkeit bereite ich Lehrbücher, die morgen gelernt werden. Danach ging ich zu Bett.

Er ist es, die mich ermutigt, an Tag zu Tag zu leben.

Obwohl es sich um jüngere Cousine, aber sie sind ein neuer Geist für mich. Ich liebe sie mehr DraI niemanden. Ihr Lächeln ist die Drogen wenn ich müde war, traurig und verzweifelt das Leben. Sie sind eine große Inspiration.

Ich liebe meine Familie ... ohne sie bin ich nichts in dieser Welt.

Ich liebe dich Jungs.